Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menerima 2013 World Statesman Award (WSA) dari Appeal of Conscience Foundation (AoCF) di Garden Foyer, Hotel The Pierre, New York, Amerika Serikat, Kamis (30/5/2013) malam waktu setempat atau Jumat (31/5/2013) pagi WIB. Berikut ini adalah isi pidatonya Presdien SBY.
Terima kasih Rabbi Arthur Schneier, terima kasih Dr. Henry Kissinger, atas sambutan pembukanya yang hangat dan ramah.
Saya ingin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Appeal of Conscience Foundation atas dedikasinya dalam membangun jembatan bagi perdamaian dan saling pemahaman bagi kemanusiaan. Dengan segala kerendahan hati saya terima penghargaan ACF ini bagi Indonesia. I
stri saya Ani, dan saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua tamu undangan atas kehadirannya pada malam ini, dan atas persahabatan yang Bapak-Ibu tunjukkan untuk Indonesia.
Sebelum saya melanjutkan pidato ini, saya ingin menyampaikan ungkapan duka cita yang mendalam atas bencana tornado Oklahoma yang menelan banyak korban dan menimbulkan penderitaan dan juga atas pemboman keji di Boston sebelumnya. Saya yakin Amerika akan kembali memperlihatkan daya tahannya dan bahkan akan menjadi lebih kuat lagi.
Saya juga merasa sedih atas terjadinya pembunuhan brutal terhadap seorang prajurit muda Inggris di London baru-baru ini. Atas kejadian ini, pada kesempatan berbincang dengan Perdana Menteri Inggris David Cameron, saya menyampaikan rasa duka cita saya—tindak kekerasan seperti ini tidak memiliki tempat dalam agama manapun yang mencintai perdamaian.
Kejadian-kejadian seperti ini semakin mempertegas adanya berbagai tantangan yang kita hadapi bersama. Tantangan perdamaian. Tantangan keadilan, termasuk keadilan ekonomi.
Tantangan kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia. Tantangan untuk mencapai hubungan antarperadaban yang harmonis. Tantangan untuk mengentaskan kemiskinan global melalui pembangunan berkelanjutan.
Sekalipun demikian, terdapat kabar baik, yaitu adanya semangat globalisme baru di antara bangsabangsa dan masyarakat madani yang diharapkan akan dapat meningkatkan upaya internasional dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut.
Sebagai bagian dari globalisme baru ini, saya mendapat kehormatan untuk menjadi salah satu Ketua Bersama Panel Tingkat Tinggi PBB, yang pada hari ini telah menyerahkan laporan akhirnya kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai visi dan bentuk agenda pembangunan global pasca-2015.
Namun upaya-upaya global ini tidak akan mencatat kemajuan apabila para pemimpin lokal dan nasional tidak memainkan peranan mereka.
Dan pada tingkat nasional dan lokal itulah, tantangan-tantangan ini dapat menjadi lebih rumit.
Salah satu contohnya adalah Indonesia. Kami adalah salah satu bangsa yang sangat majemuk kelompok etnisnya di dunia, merupakan tempat tinggal bagi seperempat milyar manusia yang menganut lima agama utama di dunia, dan tersebar di lebih dari 17,000 pulau.
Sejak hari pertama kemerdekaan, bangsa kami memiliki aspirasi untuk menjadi bangsa yang bersatu di dalam perbedaan. Satu bangsa dimana para warga negaranya yang terdiri dari berbagai suku, keyakinan dan nilai-nilai, hidup bersama dalam harmoni. Satu bangsa yang dibangun atas ketentuan hukum.
Semua prinsip-prinsip utama ini tercantum di dalam Konstitusi kami, dan di dalam ideologi bernegara: Pancasila. Dan kemampuan kami hidup berdasarkan nilai-nilai luhur ini, akan menentukan tidak saja kemajuan, namun juga keberlanjutan kita sebagai satu bangsa.
Hari ini, kami telah menempuh jalan yang panjang untuk mewujudkan visi tersebut. Namun demikian, pencapaiannya tidaklah mudah. Kami melakukannya dengan kerja keras, keberanian dan kegigihan.
Di awal transisi demokratis kami, 15 tahun yang lalu, Indonesia mengalami krisis multidimensional. Keruntuhan ekonomi. Ketidakstabilan politik. Kerusuhan sosial. Separatisme. Konflik komunal. Kekerasan antar-etnis. Terorisme. Situasi sedemikian parahnya, sehingga Indonesia diprediksi akan menjadi Balkan yang baru – hancur berkeping keping.
Tetapi bangsa Indonesia dengan gigih menantang skenario kehancuran tersebut. Kami menyelesaikan permasalahan satu per satu. Kami menyelesaikan konflik separatisme di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun. Kami memperbaiki hubungan dengan Timor-Leste. Kami mengembalikan stabilitas politik. Kami memperkuat institusi-institusi demokrasi kami. Kami memberlakukan hukum untuk mengakhiri diskriminasi di Indonesia.
Ekonomi kami yang pernah sakit telah pulih dan menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan tingkat pertumbuhan tercepat kedua di antara negaranegara anggota G-20 setelah Tiongkok. Dan masyarakat madani yang berkembang menjadi sandaran demokrasi kami. Indonesia pun kemudian sering disebut sebagai salah satu kisah transformasi yang paling berhasil di Abad ke-21.
Dan kesuksesan demokrasi kami telah memberikan kemanfaatan yang strategis tidak hanya di kawasan kami.
Alhamdulilah, kami mengalami banyak kemajuan yang menggembirakan. Sungguh pun demikian, demokrasi kami tetap merupakan satu proses yang berkelanjutan.
Kebangsaan kami terus menerus diuji. Menjaga perdamaian, tata tertib, dan harmoni adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan secara sambil lalu.
Kami masih tetap menghadapi sejumlah tantangan. Kantung-kantung intoleransi tetap ada. Konflik komunal terkadang masih mudah tersulut. Sensitivitas keagamaan kadangkala menimbulkan perselisihan, dimana kelompok kelompok masyarakat mengambil tindakan secara sepihak.
Riak radikalisme masih tetap ada. Hal ini, saya yakini, bukan merupakan permasalahan yang hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi merupakan fenomena global.
Sejatinya, masih banyak pekerjaan yang harus kami lakukan. Kami harus terus memajukan transformasi Indonesia seraya mengatasipermasalahan-permasalahan tersebut.
Bersamaan dengan kemajuan ke depan kami, kami tidak akan mentolerir setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manapun dengan mengatasnamakan agama.
Kami tidak akan membiarkan penodaan tempat-tempat ibadah agama manapun atas alasan apapun. Kami akan selalu melindungi kaum minoritas dan memastikan tidak ada yang terdiskriminasi. Kami akan memastikan bahwa mereka yang melanggar hak-hak orang lain.
Akan diganjar hukuman yang setimpal. Kami akan melakukan berdasarkan kemampuan kami untuk memastikan bangsa kami yang terdiri atas ratusan kelompok etnis, serta semua umat beragama—Muslim, Kristiani, Hindu, Budha, Konghucu, dan kepercayaan lainnya—dapat hidup berdampingan dalam kebebasan dan persaudaraan.
Dan Indonesia akan senantiasa menjadi negara dimana terdapat rumah tempat ibadah yang berlimpah.
Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 255.000 mesjid. Kami juga memiliki lebih dari 13.000 pura Hindu, sekitar 2.000 kuil Budha, dan lebih dari 1.300 kuil Konghucu. Dan—hal ini mungkin akan mengejutkan bagi anda—kami memiliki lebih dari 61.000 gereja di Indonesia, lebih banyak dibandingkan di Inggris Raya atau Jerman. Dan banyak dari tempat-tempat ibadah ini dapat ditemui di sepanjang jalan yang sama.
Di lingkungan eksternal, Indonesia juga akan terus menjadi kekuatan bagi perdamaian dan kemajuan. Sebagai bangsa yang ikut andil bagi perdamaian dunia, Indonesia akan terus mengirimkan misi-misi perdamaian ke wilayahwilayah konflik di seluruh dunia.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, kami akan terus melakukan yang terbaik untuk membangun jembatan antara dunia Islam dan Barat.
Sebagai bangsa dengan sejarah toleransi yang panjang, Indonesia akan selalu menyuarakan secara tegas moderasi, yang kami yakini merupakan pelawan terbaik ekstremisme.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia terus memberi contoh bahwa demokrasi, Islam dan modernitas dapat hidup bersama dalam simbiosis positif.
Sebagai bangsa yang dibangun atas dasar keharmonisan agama, Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam kerja sama antar-keyakinan. Tahun depan, Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi Aliansi Peradaban (Alliance of Civilizations) di Bali. Dan kami secara aktif memajukan persatuan diantara agama-agama anak cucu Nabi Ibrahim sehingga akhirnya dapat hidup bersama dalam damai seutuhnya di Abad ke-21 ini.
Hadirin yang saya muliakan,
Saya ingin meninggalkan satu bahan pemikiran. Membangun masyarakat yang toleran merupakan ranah seni mengelola negara yang baik.
Diperlukan kombinasi yang tepat antara persuasi dan penegakan hukum. Apabila tindak kekerasan terjadi, maka keadilan harus ditegakkan. Namun, dari pengalaman kami di Indonesia, penegakan hukum semata tidaklah cukup. Hati dan pikiran juga harus dimenangkan. Stereotip lama harus dienyahkan. Budaya toleransi dan pendekatan yang inklusif harus senantiasa didorong.
Dan ini adalah suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh seorang pemimpin semata. Ini adalah sesuatu yang memerlukan upaya bersama dari sejumlah besar pemimpin dari semua kalangan dan di semua bidang untuk menjalankan kenegarawanannya dalam memimpin dan menginspirasi para pengikutnya.
Pada akhirnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang berani berdiri di garis terdepan, dan memberikan sinar pengharapan untuk masa depan.