Proses pembaharuan hidup selain akan gagal ditempuh melalui sikap yang mencari pembenaran diri juga disebabkan sikap yang salah dalam menyikapi suatu kesalahan dan dosa. Kita lebih banyak mengembangkan perasaan bersalah (guilty feeling) dari pada “kesadaran tentang kesalahan”.
Sikap perasaan bersalah menyebabkan kita selalu dikejar-kejar selalu oleh rasa bersalah atau perasaan berdosa sehingga melumpuhkan sikap iman, pengharapan dan kasih. Dalam perasaan bersalah, kita akan merasa diri begitu kotor sampai tidak mampu melihat anugerah dan kasih Allah.
Walaupun kita berulangkali telah mendengar anugerah dan kasih Allah, tetapi kita tetap tidak pernah yakin akan pengampunan Allah. Sehingga kita lebih cenderung mengembangkan sikap yang terus menghukum dan mengadili diri sendiri. Sikap yang mengembangkan perasaan bersalah pada suatu tingkat tertentu dapat berubah menjadi penyakit jiwa (neurosis). Tidaklah mengherankan orang-orang yang semula religius namun hidup dalam perasaan bersalah terus-menerus akan mengalami penyakit neurosis.
Sebagai salah satu jenis penyakit kejiwaan, neurosis sangat sulit disembuhkan. Yang mana fenomena penyakit jiwa neurosis bagaikan sosok Iblis yang bersarang dalam jiwa seseorang yang terus-menerus merongrong, menuntut dan mengadili setiap perbuatan yang sebenarnya sudah diampuni Allah. Dia terus didakwa akan kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu. Itu sebabnya mereka yang hidup dalam perasaan bersalah menempatkan diri dalam posisi yang bermusuhan dengan Allah. Mereka tidak dapat menikmati damai-sejahtera dan keselamatan dari Allah. Mungkin mereka tetap beribadah, tetapi batin mereka selalu tertekan sebab mereka memposisikan diri sebagai seorang terdakwa di hadapan tiran ilahi yang bernama Allah.
Karena itu seorang yang dikejar oleh perasaan bersalah tidaklah mungkin mampu mengalami penyataan Allah (theofani). Saat seseorang terbelenggu oleh perasaan bersalah, yang dia lihat hanyalah kesalahan diri secara destruktif dan terpisah dari kasih Allah. Jadi seseorang yang dikejar oleh rasa bersalah membutuhkan sentuhan kasih Allah dan pengertian bahwa kasih-karunia Allah pada hakikatnya telah menutupi setiap kesalahan dan dosa-dosanya. Saat dia membuka hati terhadap kasih Allah, maka darah penebusan Kristus akan memulihkan dia dari perasaan bersalah.
Sebaliknya saat kita tidak mengembangkan perasaan bersalah, tetapi lebih mengembangkan “kesadaran akan dosa” - kita akan dimampukan untuk mengalami kehadiran Allah. Nabi Yesaya menyadari keberdosaannya saat dia berhadapan dengan diri Allah yang kudus. Di Yes. 6:5, nabi Yesaya mengungkapkan kesadaran dirinya selaku orang yang berdosa, yaitu: "Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam".
Seharusnya setiap umat percaya senantiasa mampu menyadari keberdosaan dirinya secara positif. Arti dari kesadaran diri tentang dosa secara positif adalah seseorang dimampukan untuk melihat secara kontras kekudusan Allah dengan kecemaran dirinya. Kontras tersebut membuka mata rohani umat bahwa mereka hanyalah ciptaan yang fana dan berdosa, sehingga pada sisi yang lain mampu mendorong mereka untuk mengaku percaya bahwa Allah adalah sang Pencipta yang kudus dan kekal. Kesadaran akan dosa secara positif akan melahirkan sikap pengakuan iman.
Sebaliknya perasaan bersalah secara negatif akan melahirkan sikap yang selalu meragu-ragukan kasih Allah dengan disertai tindakan yang menghukum diri sendiri. Itu sebabnya arti “melepas belenggu kesalahan di masa lalu” akan terwujud apabila kita mengembangkan sikap yang mau menyadari realitas dosa secara positif. Semakin kita mengembangkan perasaan bersalah, semakin kusut pula rajutan konsep diri kita yang negatif. Bahkan kesadaran nabi Yesaya akan dosa bukan hanya berkaitan dengan dirinya sendiri, tetapi juga dosa seluruh umat.
Semakin mata rohani kita jernih, maka semakin tajam untuk melihat realitas dosa sebagai suatu struktur dan sistem yang berhasil merusak pondasi etis-moral setiap pribadi yang hidup di dalamnya. Kemudian pada tingkat rohani yang lebih tinggi, kita akan dimampukan untuk melihat bahwa kasih-karunia Allah ternyata lebih besar dan melampaui realitas keberdosaan umat yang komunal maupun personal. Sehingga kemudian nabi Yesaya berkata: “namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam".