Malu! Sebelum berdosa manusia tidak tahu malu. Adam dan Hawa telanjang, namun keduanya tidak merasa malu (Kejadian 2:25). Namun setelah berbuat dosa, keduanya merasa malu (Kejadian 3:7, Kejadian 3:8).
Benarkah yang membuat Adam dan Hawa merasa malu adalah ketelanjangan mereka? Tidak! Kalau Adam dan Hawa malu karena telanjang, maka setelah menyematkan daun pohon ara dan memakai cawat keduanya tidak akan merasa malu lagi ketika mendengar langkah Allah di taman Eden.
Menyelesaikan masalah dengan masalah. Itulah yang dilakukan oleh Adam dan Hawa. Hawa dalam masalah setelah makan buah pohon pengetahuan, dia menyelesaikannya dengan masalah baru, memberikan buah itu kepada Adam. Adam dalam masalah setelah makan buah pohon pengetahuan. Dia menyelesaikan masalahnya dengan membuat masalah baru, sembunyi. Ketika sembunyi tidak menyelesaikan masalahnya, dia menyelesaikannya dengan masalah baru, mencari alasan dirinya telanjang.
Ketika alasan telanjang tidak menyelesaikan masalahnya, dia menyelesaikannya dengan masalah baru, mencari kambing hitam, menyalahkan Hawa kekasihnya. Apakah masalahnya selesai? Tidak! Masalahnya dia belum makan buah pohon kehidupan sehingga tidak bisa hidup selama-lamanya. Masalahnya dia sudah makan buah pohon pengetahuan sehingga walaupun masih memiliki pengetahuan tentang hal yang baik dan yang jahat, namun dia tidak mampu untuk membedakannya dengan benar dan dia tidak mampu untuk memilih kebaikan dan menolak kejahatan. Apabila dia merasa malu dengan hal itu, seharusnya dia belajar untuk mendapatkan kemampuannya kembali, bukannya lari sembunyi atau mencari alasan bahkan kambing hitam.
Kita merasa malu ketika kesalahan kita terbongkar. Namun, alih-alih mengakui kesalahan, kita justru mencari alasan dan kambing hitam. Mencari alasan dan kambing hitam adalah ungkapan kasihan pada diri sendiri dan memohon orang untuk mengasihani diri kita. Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Itu namanya menyelesaikan masalah dengan masalah baru.
Kita merasa malu karena tahu diri sendiri tidak sesempurna orang lain. Namun alih-alih membina diri, kita justru menuntut orang lain untuk menerima kekurangan kita. Minder adalah perasaan malu yang tidak diungkapkan.
Kita merasa minder karena tahu diri sendiri tidak sesempurna orang lain. Saya tidak seganteng dia, saya tidak secantik dia, saya tidak sekaya dia, saya tidak sepintar dia, saya tidak seberbakat dia, saya tidak seberuntung dia. Kita menjadikan semua hal itu sebagai alasan diri sendiri tidak bahagia. Kita menjadikan semua hal itu sebagai alasan untuk tidak mencintai diri sendiri. Kita menjadikan semua hal itu sebagai alasan diri sendiri tidak berprestasi. Kita menjadikan semua hal itu sebagai alasan untuk mengasihani diri sendiri.
Ketika merasa minder, kita tidak membina diri, justru lari menyembunyikan diri. Itulah naluri manusia, naluri Adam dan Hawa, naluri manusia umumnya. Sebagai orang Kristen yang menyebut dirinya murid Yesus Kristus, hal itu tidak boleh terjadi lagi. Malu atau minder seharusnya menjadi pendorong bagi kita untuk membina diri menggapai kesempurnaan, bukan alasan untuk lari bersembunyi, mengasihani diri sendiri dan mengharapkan orang lain memaklumi kita.