Chuck Colson : Dia adalah “orang tangguh” Gedung Putih era Presiden Nixon.
Pada tahun 1972, skandal Watergate menghancurkan reputasinya dan dunianya terpecah-belah. Setelah itu dia menulis:
“Saya hanya memikirkan diri sendiri. Saya melakukan ini dan itu, saya mencapai tujuan, saya sukses dan saya tidak memberi Allah kehormatan (atas semua keberhasilan itu), tidak pernah berterima kasih kepada-Nya atas pemberian Dia kepada saya. Saya tidak pernah berpikir ada pribadi “tak terhitung superioritasnya” dibandingkan saya, atau jika penah berpikir tentang ke-maha kuasa-an Allah, saya tidak menghubungkannya dengan kehidupan saya.”
Banyak orang sama dengan Colson. Sudah terperangkap dalam kecepatan kehidupan dan hanya punya sedikit atau tidak ada waktu untuk Allah. Kendati begitu, tidak mempedulikan tawaran anugerah Allah akan pengampunan punya konsekuensi mengerikan. Hutang dosa kita tetap tidak terbayar.
Ketika menolak pengampunan penuh Kristus, orang-orang memberi berbagai alasan. Banyak yang mengatakan kurang bukti, sementara yang lainnya menolak melihat lebih jauh karena beberapa orang Kristen munafik yang mereka kenal. Mereka menunjuk orang-orang tersebut menampilkan perilaku tidak berbelas kasihan. Selebihnya menyebutkan inkonsisten sebagai alasan. Dan lainnya masih tetap menolak Kristus karena mereka menyalahkan Allah atas pengalaman sedih atau tragis yang mereka derita.
Lahir baru adalah kata yang berarti cara berpikir yang secara dramatis berbalik arah.. Itulah yang terjadi terhadap mantan “orang tangguh” Gedung Putih era Presiden Nixon. Setelah Watergate terbuka, Colson mulai memikirkan tentang hidup secara berbeda.
Colson menulis :
“Saya tahu waktunya sudah tiba bagi saya. . Apakah saya akan menerima Yesus Kristus tanpa syarat sebagai Tuhan atas hidup saya. Itu seperti sebuah gerbang untuk saya? Tidak ada jalan untuk melangkah memutarinya. Saya masuk atau saya tetap diluar. Satu ‘mungkin’ atau ‘saya butuh tambahan waktu’ sama dengan memperolok diri sendiri.”
Setelah pergulatan di dalam hati, mantan pembantu presiden Amerika Serikat ini akhirnya menyadari Yesus Kristus pantas memperoleh kesetiaan total darinya. Dia menulis:
“Kemudian, pada Jumat pagi, ketika saya duduk sendirian melihat ke laut yang saya cintai, kalimat yang saya tidak pasti bisa saya pahami atau katakan meluncur begitu saja dari bibir saya, “Tuhan Yesus, saya percaya Engkau”. Saya terima Engkau. Mohon masuklah dalam hidup saya. Saya berkomitmen kepada-Mu.”
Ketika kita memasuki hubungan personal dengan Yesus Kristus, Dia mengisi kekosongan dalam hati kita, memberi kita kedamaian, dan memuaskan keinginan kita akan arti kehidupan dan harapan. Dan kita tidak lagi membutuhkan stimultan sementara untuk mengisi kita. Ketika Dia masuk kedalam kita, Dia juga memuaskan keinginan paling dalam dan kebutuhan akan kasih dan kedamaian sejati.